Senin, 01 Desember 2008

Bisnis Properti Sudah Kebal Krisis

BELAKANGAN ini banyak kalangan yang khawatir dan bertanya-tanya, akankah dampak krisis finansial global yang terjadi saat ini akan terulang kembali seperti yang pernah kita alami bersama sepuluh tahun lalu ketika krisis moneter ”menghancurkan” perekonomian Indonesia?

Sebenarnya pertanyaan semacam ini telah terlontar lima tahun lalu ketika ekspansi bisnis properti di negeri kita ini begitu bergelora. Pembangunan ruko, apartemen, mal,dan pusat perbelanjaan tak lagi hanya berlangsung di Jakarta, tetapi sudah menjalar ke seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia.

Nah, sekarang pertanyaan yang sama muncul kembali ketika krisis finansial global yang diawali dari Amerika Serikat menjalar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sangatlah sulit untuk meyakinkan semua orang, apa pun jawaban yang kita berikan. Namun, sangatlah mudah untuk mengatakan bahwa dampak krisis finansial global saat ini tidak akan mengguncang perekonomian negara kita, apalagi menghancurkannya seperti yang terjadi tahun 1998. Mengapa demikian? Karena, situasi dan kondisi sosial ekonomi dan politik di negara kita saat ini amatlah berbeda bila dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu.

Krisis yang terjadi pada saat itu (tahun 1998) adalah puncak dari sebuah perjalanan sejarah bangsa dengan politik yang sangat sentralistik dan tertutup. Belum lagi perekonomian yang sangat bergantung pada utang luar negeri, baik pemerintah maupun pihak swasta.

Dikendalikan pengusaha

Saat itu bank-bank swasta yang dimiliki para konglomerat dan bank-bank pemerintah yang dikendalikan pengusaha yang dekat dengan penguasa begitu berambisi membangun bisnis propertinya yang bersifat jangka panjang dan ditopang dengan dana bank yang bersifat jangka pendek.

Kalangan perbankan pun jorjoran mengucurkan dananya untuk membiayai proyek-proyek properti skala besar alias megaproyek. Ketika itu para bankir demikian agresif menyalurkan kredit ke sektor properti, pengawasan dari Bank Indonesia juga masih sangat lemah. Para bankir leluasa mengucurkan dana pihak ketiga untuk membiayai proyek-proyek properti yang digarap oleh kelompok usahanya sendiri.

Waktu itu, praktik pelanggaran legal lending limit (batas maksimum pemberian kredit- BMPK) dan mark up nilai proyek sangat lazim dilakukan. Ketika perekonomian nasional sedang sehat, melaju kencang di atas 7 persen per tahun, semua borok-borok itu bisa ditutupi. Toh, ada juga beberapa bank yang ”jebol” karena melakukan pelanggaran yang ”kebangetan”.

Ambruknya Bank Summa (1991), Bank Pacific (1995), dan Bank BHS (1997) menunjukkan betapa berbahaya dan besarnya dampak negatif yang muncul dari ”perselingkuhan” perbankan dan pengembang. Maka, ketika krisis mata uang yang terjadi di Thailand yang berawal dari ekspansi bisnis properti lalu menjalar ke Indonesia, tersungkurlah bank pemerintah dan swasta yang sangat getol membiayai bisnis properti waktu itu.

Para pengembang yang tadinya berkibar-kibar dengan sederet proyek kebanggaannya langsung tersungkur. Mereka bangkrut karena tidak kuat lagi menanggung beban utang yang tiba-tiba menggunung seiring dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Para pengembang pun ramai-ramai masuk ruang gawat darurat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Semua pengembang papan atas menjadi pasien BPPN.

Namun, pada 1999-2000, beberapa pengembang yang kebal krisis mulai kembali menggarap bisnis properti. Restrukturisasi utang pengembang melalui BPPN tahun 2001 menjadi stimulus dan landasan berpijak yang baru bagi para pengembang untuk kembali menekuni proyek-proyek propertinya. Sejak itu pula bisnis properti bergerak kembali dan bahkan menjadi lokomotif yang menggerakkan gerbong perekonomian nasional pascakrisis.

Kapitalisasi proyek properti

Sejak tahun 2003, pertumbuhan bisnis properti nasional tidak bisa dibendung lagi. Akibatnya, nilai kapitalisasi proyek properti nasional mengalami lonjakan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Puncaknya terjadi tahun 2005, dengan nilai kapitalisasi bisnis properti Rp 91,01 triliun. Atau meningkat hampir sepuluh kali lipat dibandingkan dengan nilai kapitalisasi tahun 2000 yang ”hanya” Rp 9,51 triliun.

Pertumbuhan bisnis properti yang sangat fantastis itu tak terbendung lagi oleh gonjang-ganjing politik (pelaksanaan Pemilu 2004) dan kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), bahkan sebanyak enam kali terjadi sejak tahun 2004.

Nah, sekarang timbul pertanyaan, bagaimana dampak krisis finansial global itu terhadap bisnis properti Indonesia saat ini? Memang harus diakui sedikit banyak krisis finansial yang melanda dunia saat ini pastilah berdampak pada bisnis properti di Indonesia.

Bayangkan, di tengah krisis subprime mortgage di AS, yang pengaruh negatifnya langsung ditransmisikan ke negara-negara lain, seperti kawasan Eropa, Kanada, Australia, Hongkong, dan Singapura, bisnis properti nasional sama sekali tak terpengaruh. Harga properti yang berguguran di negara-negara lain sama sekali tidak terjadi di Indonesia.

Nah, dampak negatif yang berembus dari krisis subprime mortgage di AS dan kenaikan harga BBM yang sempat mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah terasa secara global, yakni berupa peningkatan laju inflasi yang sangat signifikan, bahkan merupakan laju inflasi tertinggi yang terjadi dalam 25 tahun terakhir.

Di Singapura, misalnya, yang perekonomiannya terkenal stabil dengan laju inflasi tahunan yang rata-rata cuma 2,5 persen, tahun ini diperkirakan inflasinya akan melonjak hingga 7,8 persen. Begitu pula di Malaysia, yang laju inflasinya hanya sekitar 3 persen, tahun ini akan menembus 7 persen. Adapun Australia yang laju inflasinya rata-rata hanya sekitar 4 persen tahun ini akan mencapai 7,5 persen.

Namun, jika menyimak nilai kapitalisasi proyek properti nasional sebagaimana terlihat pada tabel, tampak bahwa sejak tahun 2003 sektor properti di Indonesia dengan nilai Rp 50,7 triliun bertumbuh secara konsisten menjadi Rp 77,4 triliun hampir tidak mengenal masa resesi. Yang terjadi adalah, dari tahun ke tahun, sektor properti Indonesia bergerak dari booming yang satu ke booming yang lain. Bisnis properti Indonesia bergerak dari puncak gunung yang satu ke puncak gunung yang lain tanpa pernah tergelincir ke lembah.

Ekspansi bisnis properti pascakrisis tahun 2003 hingga 2008, kredit properti yang dipakai pengembang mencapai Rp 186,3 triliun, (lihat tabel) sebagian besar atau 64 persen senilai Rp 119 triliun adalah kredit pemilikan rumah (KPR). Sementara kredit konstruksi dan kredit real estat hanya mencapai 36 persen, masing-masing 21,9 persen atau senilai Rp 40,8 triliun adalah kredit konstruksi dan 14,22 persen atau Rp 26,5 triliun adalah kredit real estat.

Konsumen semakin pandai memilih proyek-proyek properti yang akan dibelinya dengan menyeleksi pengembang yang sudah teruji lolos dari krisis. Mereka semakin pintar untuk memilah pengembang yang kredibel dan memilih proyek yang sesuai dengan kemampuan ekonominya.

Mereka membeli sesuai dengan kebutuhannya. Tidak banyak konsumen yang menebar uang di banyak proyek properti sebagai ajang spekulasi. Mereka juga lebih berhati-hati dalam memilih proyek properti, dengan melihat bagaimana track record pengembangnya.

Kenapa sektor properti Indonesia tidak terpengaruh? Kenapa bisnis properti nasional seakan- akan begitu tangguh? Sekali lagi, hal ini merupakan anomali yang sulit dijelaskan. Ya, benar-benar merupakan ketidaklaziman dalam dinamika bisnis properti nasional.

Soalnya, pada masa lalu, ketika krisis moneter menerjang kawasan Asia, yang dimulai dari Thailand, justru Indonesia merupakan negara yang paling parah terkena dampaknya dibandingkan dengan negara lain, seperti Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan. Dan, sektor properti Indonesia terperosok paling dalam ke kubangan krisis, di samping sektor keuangan dan perbankan.

Nah, dalam situasi krisis global yang terjadi belakangan ini, bisnis properti di Indonesia seakan- akan kebal dari penyakit ekonomi yang mengkhawatirkan banyak negara itu. Padahal, ketimbang negara lain, seperti Singapura, China, dan Uni Emirat Arab, bisnis properti Indonesia relatif masih tertutup bagi investor asing.

Tak pernah kehabisan

Para pengembang di Indonesia seperti tidak pernah kehabisan ”amunisi” untuk terus mengguyur pasar properti nasional dengan berbagai proyeknya. Buktinya, hanya dalam tempo dua tahun (2007-2009), tidak kurang dari 33.000 unit rumah susun sederhana milik (rusunami) diluncurkan para pengembang. Jika harga rusunami itu rata-rata Rp 175 juta per unit, nilai kapitalisasi dari proyek rusunami saja mencapai Rp 5,7 triliun.

Yang lebih fantastis, para pengembang juga terus merancang berbagai megaproyek properti lewat superblok. Pada masa mendatang, ekonomi Indonesia diperkirakan akan melaju rata-rata 7-9 persen per tahun, persis seperti sebelum terjadi krisis ekonomi. Indikasinya tampak jelas dari kinerja ekspor yang semakin mantap hingga menembus 100 miliar dollar AS tahun 2007.

Meski laju inflasi tahun 2008 akan cukup tinggi, yakni mencapai sekitar 12 persen, akibat kenaikan harga komoditas pangan internasional dan penyesuaian harga BBM di pasar domestik, pemerintah, Bank Indonesia, dan kalangan perbankan pada umumnya merasa sangat yakin bahwa laju inflasi akan kembali mereda pada tahun 2009, turun lagi ke level 6 persen-6,5 persen.

Nah, hal itulah yang membuat para pengembang sama sekali tak merasa ragu untuk terus meluncurkan proyek-proyek propertinya. Dengan demikian, bisnis properti yang terus bergairah sejak tahun 2002 akan menemukan momentum untuk mencapai booming pada tahun 2010-2011.

Fenomena seperti itu benar- benar merupakan sebuah anomali dalam sejarah bisnis properti Indonesia, bahkan dunia. Sebab, di mana pun juga tidak ada sebuah sektor ekonomi yang mampu terus-menerus selama satu dekade. Selalu ada proses alamiah yang membuat suatu usaha berkembang, lalu jeda sesaat atau melemah, untuk kemudian tumbuh lagi.

Salah satu faktor yang membuat para pengembang se- makin bersemangat membangun proyek-proyek propertinya adalah keyakinan bahwa pemerintah baru pada tahun 2009 akan membuat kebijakan terobosan. Salah satunya adalah membuka akses yang lebih luas bagi investor asing untuk masuk ke bisnis properti nasional.

Tak heran jika para pengembang terus meluncurkan proyek-proyek properti terpadu yang sangat prestisius, seperti StMoritz dengan nilai investasi Rp 11 triliun, Kemang Village (Rp 12 triliun), Ciputra Mall (Rp 14 triliun), Kuningan City (Rp 6 triliun), Kota Casablanca (Rp 7 triliun), Gandaria City (Rp 6,5 triliun), dan Tangerang City (Rp. 4,4 triliun).

Semua proyek properti itu seakan-akan merupakan antisipasi para pengembang menyambut hadirnya investor asing ke bisnis properti nasional pada kurun waktu 2009 dan seterusnya. Nah, jika semua skenario yang dipaparkan di atas terjadi, booming properti pada tahun 2010-2011 bukan hal yang mustahil terjadi.

Karena sikapnya yang sangat ”fanatik” terhadap properti sebagai instrumen investasi, para pengembang dari mancanegara pun semakin banyak yang menawarkan proyek-proyek propertinya ke Indonesia, seperti yang dilakukan para pengembang dari Singapura, Malaysia, Kanada, dan Australia. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, pengembang dari AS juga gencar menawarkan proyek-proyek properti di New York dan California.

Disarikan dari Panangian Simanungkalit

Penataan Kota Malang

Kota Malang dibangun tidak dengan serta merta, melainkan melalui tahap-tahap yang berkelanjutan. Sebelum ditata secara bertahap, kota Malang cenderung memiliki pola perkembangan yang linier, bagai pita yang membujur utara-selatan sepanjang jalan poros Malang-Surabaya.

Pola yang demikian kurang baik untuk perkembangan lebih lanjut. Oleh karena itu, Kota Malang perlu diperluas ke arah timur dan barat. Namun, perluasan ke arah barat dan timur itu terhalang oleh aliran Sungai Brantas dan Bango di sisi timur serta aliran Kali Metro di barat, yang prakstis menjadi batas terluar perkembangan Kota Malang ketika itu.

Posisi Alon-alon yang fital bagi masyarakat Jawa menjadikan penataan kota mengambil Alon-alon sebagai titik sentrum. Kawasan terbangun ditata dengan pola jejala, dengan Alon alon sebagai semacam titik tengah pertemuan dari jalan-jalan kota.

Untuk mengendalikan perubahan bentuk kota yang cenderung mengarah utara-selatan, Kotapraja Malang dari tahun 1917-1929 mengeluarkan 8 buah rencana perluasan kota (bouwplan). Pada tahun sebelumnya (1914-1916), perhatian pemerintah lebih banyak diarahkan kepada peningkatan sarana dan prasarana kota, seperti penyediaan air bersih, jaringan listrik, perbangkan dengan mendirikan “Javasche Bank (kini Bank Indonesia)”, per-hotelan dengan membuka “Palace Hotel (kini Hotel Pelangi)”, serta mendirikan perusahaan tanah guna meminimalkan ulah para spekulan tanah.

Bouwplan I: Keputusan rapat Dewan Kota (Gemeenteraat) tanggal 13 April 1916, namun baru dilaksanakan 18 Mei 1917. Tujuannya membangun daerah perumahan baru untuk golongan orang Eropa di antara Celaket - Rampal. Naman jalan menggunakan nama anggota keluarga kerajaan Belanda, sehingga dinamai “Oranyebuurt”.

Lokasi ini terbilang strategis, sebab dekat dengan jalan darat utama Malang–Surabaya dan stasiun kereta api Kota Baru. Sungai Brantas yang mengalir utara-selatan membelah kota dijadikan bagian dari landscaping kota. Luas bouwplan I: 12.929 m².

Buumplan II: Keputusan rapat Gemeenteraat 26 April 1920, namun baru dilaksanakan tahun 1922 dengan tujuan membentuk daerah pusat pemerintahan yang baru, yakni Kotapraja (Gemeente) Malang, yang dibentuk 1 April 1914. Berintikan lapangan terbuka berbentuk bundar dengan bagian di tengah berupa kolam air mancur, yang kemudian populer dengan sebutan “Alon-alon Bunder”. Di sekitanya didirikan bangunan resmi dan monumental seperti Balai Kota, hotel Splendid, sekolah HBS/AMS, stasiun kereta api, rumah tinggal panglima militer dsb. Jalan-jalan diberi nama dengan nama para gubernur jendral terkenal masa Hindia-Belanda sehingga dinamai “Gouverneur-Generaalbuurt”.

Lapangan bundar itu dinamai J.P. Coen Plein. Dibangun jalan bersumbu timur-barat dari Stasiun KA melintasi Alon-alon Buder dan Kali Brantas, memotong jalan poros Kayutangan hingga terbentuk perempatan jalan utama, dan seterusnya kearah barat hingga nantinya mencapai Jl. Besar Ijen. Luas bouwplan II: 15.574 m².

Bouwplan III: Keputusan rapat Gemeenteraat 26 Agustus 1919 dan 26 April 1920, dengan maksud untuk membangun areal pemakamkam yang cukup luas guna menampung kebutuhan akan makam bagi orang Eropa yang tinggal di Malang.

Lokasi terpilih adalah daerah Soekoen yang berada di tenggara kota, yang kala itu belum padat penduduk. Kompleks makam ini sekaligus digunakan untuk penampung pindahan makam orang-orang Eropa tertua di Klojen Lor. Luas bouwplan III : 3.700 m².

Bouwplan IV: Diperuntuk bagi perumahan kelas menengah ke bawah diantara Celaket-Lowokwaru, yang didalamnya terdapat komleks kuburan Samaan (6.2045 Ha), sekolah dan lapangan olah raga tersendiri. Nama jalan menggunakan nama sungai. Luas bouwplan IV: 41.401 m².

Bouwplan V: Rencana pembangunan dimulai tahun 1924/1925. Diperuntukan bagi perumahan golongan Eropa dengan rumah tipe vila. Lokasi di bagian barat kota dari arah Kayutangan, yang berpermukaan tanah relatif tinggi. Dibangun jalan poros timur-barat untuk menyambung jalan poros dari bouwplan II serta jaringan jalan dari Alon-alon ke arah Taloon. Jalan utama dalam bouwplan V adalah Jl. Besar Ijen yang membujur utara-selatan dan dilengkapi dengan jajaran pohon palem, serta taman-taman kota di setiap perpotongan jalan.

Selain itu dilengkapi dengan stadion di sekitar Jl. Semoeroe. Nama jalan diambil dari nama gunung (bergenbuurt). Luas bouwplan V: 16.768 m².

Bouwplan VI: Areal terbangun berada di sebelah selatan Alon-alon dan dari Sawahan ke arah timur serta barat. Nama jalan di ambil dari nama pulau-pulau, sehingga lazim dinamai dengan “Eilandenbuurt”. Terkait dengan perluasan kota pada bouwplan VI ini, pihak Gemeente Malang menaruh perhatian guna memperluas Pasar Pecinan, dengan membangun pasar sore dan pasar malam di Pasar Pecinan (1932) serta pembangunan termina bus di belakang Pasar Pecinan (1937). Luas bouwplan VI : 220.901 m².

Bouwplan VII : Dimaksudkan untuk melanjutkan pembangunan bagian barat kota pada bouwplan V, yaitu perumahan elit tipe vila berukuran besar serta arena pacuan kuda. Sebagaimana nama jalan di sekitarnya yang dibangun pada masa sebelumnya, jalan-jalan yang dibangun dalam bouwplan VII juga mengambil nama gunung. Luas bouwplan VII : 252.948 m².

Bouwplan VIII: Dimaksudkan untuk membangun zona industri bagi perusahan-perusahaan Besar. Zona industri ini dlengkapi dengan jalan kereta api . Oleh karenanya, lokasi yang dipilih berdekatan dengan emplasemen kereta api dan trem uap di selatan kota. Luas bouwplan VIII : 179.820 m².

Dengan adannya perluasan kota tahap I-VIII diatas, Kota Malang bertambah lu-as 744.064 m² dari luas semula. Selanjutnya, pembangunan diarahkan pada terbentuknya sebuah kota sebagai suatu kesatuan organis. Tidak cukup hanya dengan pekerjaan teknis, namun perlu pula dilakukan tindakan-tindakan organisasi dan perencanaan yang baru.

Untuk kepentingan itu, pihak Gemeente Malang menunjuk Thomas Karsten sebagai penasihat (adviseur) resmi Kota Malang dari tahun 1929 hingga 1935. Terhitung dari tahun 1935 s.d. 1940 pihak Gemeente Malang melakukan perluasan tambahan bagi kota Malang, yang di-beri sebutan “Rencana Tambahan Global”, meliputi: rencana jaringan jalan utama, rencana tanam dan ruang luar, serta rencana jaringan kereta api dan tram. Dengan adana jaringan transportasi itu, ke arah utara wilayah kota Malang meluas hingga mencapai Blimbing dan ke barat hingga mencapai daerah yang diberi nama dengan nama kota-kota.

Mengutip dari:

Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum
(Universitas Negeri Malang)

Trekking Kotagede-Pundong

Assalamualaikum. Wr. Wb. Tanggal 31 Agustus 2008 IRPS Yk sepakat melakukan kegiatan menjelang bulan puasa. Kegiatan ini adalah menelusuri jalur mati Ngabean-Pundong yang telah dicabut Jepang pada perang dunia II.

Jalur ini merupakan jalur cabang dari jalur Yogya-Bantul-Sewugalur yang dimulai dari Stasiun Ngabean dengan lebar 1435 mm. Jalur ini dibangun dalam dua tahap yaitu Ngabean-Pasar Gedeh (Kotagede) pada 15 Desember 1917 dengan panjang 6 kilometer. Kemudian pada 15 Januari 1919 dilanjutkan pada ruas Pasar Gedeh-Pundong dengan panjang 21 kilometer (Sumber: Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1, Penerbit Angkasa, Bandung). Jalur ini selain untuk melayani angkutan manusia juga melayani angkutan untuk pabrik gula. Oleh karena itu jalur ini melewati beberapa pabrik gula tua yaitu Kedaton Pleret, Bambanglipuro (Ganjuran), dan Pundong.

Kami berkumpul di Lempuyangan dengan peserta Saya, Mas Bagas, Ny Bagas, Habib, dan Ican. Tracking dimulai pulul 15.30 sore dikarenakan terjadi kesalahan informasi. Kami mengawali tracking dari Kotagede. Untuk lebih mudah dibaca kami akan menjelaskan dalam beberapa tahap yaitu:

1. Kotagede-Ringroad

Jalur dari Kotagede sampai Ringroad timur sudah berubah menjadi jalan kampong. Disini tidak ditemukan bekas-bekas jalur KA. Tetapi kami bias mengenali kalau jalur ini adalah jalur KA dengan melihat tikungannya yang khas. Di akhir tahap ini kemudian terlihat bahwa jalur ini menyeberang Ringroad. Kami kehilangan jejak ketika menelusuri di seberang Ringroad dikarenakan telah berubah menjadi rumah penduduk dan tak tampak lagi jalurnya.

2. Ringroad-Pleret

Jalur dari seberang Ringroad sampai Kota Pleret tak jelas bekas-bekasnya sehingga kami kehilangan jejak.

3. Pleret-Pundong

Lepas Pleret kami mulai mengenali sebuah tikungan jalan raya yang khas sehingga kami dapat mengenali kalau jalur KA sejajar dengan jalur mobil. Jalur ini sejajar jalan raya yang melewati sentra onderdil sepeda motor di Jejeran. Ketika jalur ini akan melewati Jalan Imogiri Barat jalur ini membelok ke selatan membentuk tikungan yang terpisah dari Jalan Raya Jejeran. Jalur ini kemudian menuju selatan dan sejajar dengan Jalan Imogiri Barat.

Setelah sebuah perempatan yang ada lampu merahnya jalur ini menjauhi jalan raya mengarah ke barat dengan membentuk tikungan. Pada tikungan ini kami menemukan jembatan beton. Setelah itu jalur ini mengarah ke barat. Jalur ini menjadi jalan kampung sampai kemudian kami menemukan jalan menurun yang buntu ke arah sungai yang ujungnya ada sebuah bangunan beton. Ternyata ini adalah pondasi sebuah jembatan yang besinya sudah hilang. Kalau melihat struktur pondasi, jembatan ini setipe dengan jembatan kewek..

Kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan melewati jembatan mobil di sebelah selatan jembatan KA. Kami terus menyusuri jalur ini tetapi kami kesulitan pada jalur yang terletak jauh di tengah sawah sehingga kami sempat kebingungan juga. Jalur ini kemudian terlihat mendekati Jalan Parangtritis yang kami perkirakan mendekati pabrik gula Bambanglipuro (Ganjuran).

Sampai di Pundong kami kaget ketika mendapati ex pabrik gula Pundong yang pada tahun 2007 masih terlihat beberapa pondasinya, sekarang sudah dihancurkan untuk dibuat suatu bangunan entah apa. Kami tidak berani memotret dikarenakan banyak pnjaga di proyek ini. Kami memperkirakan stasiun Pundong tidak jauh dari pabrik gula. Kemudian kami terus menyusuri jalur ini yang kemudian berbelok menjauhi jalan raya ke arah barat. Kami memperkirakan di sinilah depo kereta api dengan melihat sumur tua di tengah sawah yang berukuran besar dengan empat tiang mungkin bekas tower. Kami juga mendapat info kalau di halaman warga ada turn tabel tapi kami meragukannya dikarenakan hanya terbuat dari susunan batu tanpa disemen.

Inilah akhir dari perjalanan kami, kami masih penasaran dengan ruas Ringroad-Pleret dimana kami kehilangan jejak sehingga apabila ada waktu ingin juga ditelusuri lagi. Begitu juga dengan jalur Palbapang-Sewugalur (Galur) yang sudah tak berbekas, ingin juga kami telusuri pada waktu lain. Apabila ada informasi tambahan tentang jalur-jalur ini maupun komentar dari tulisan dan foto kami, kami sangat berterima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb

Ersta Kurniawan, IRPS Yk