Senin, 08 Desember 2008

THE OLD "KEWEK" BRIDGES

Jembatan kewek ternyata sejak dulu sudah double track. Hanya saja berbeda dengan jaman sekarang, dahulu ada dua perusahaan kereta api yaitu NIS dan SS dengan lebar spoor yang berbeda pula.
Yang sebelah utara dengan konstruksi baja milik SS dengan lebar 1067 mm
Yang selatan seperti yang kita lihat saat ini (pada saat belum dibangun double track kemaren) yaitu milik NIS dengan lebar 1435 mm.
Sayang pada penjajahan Jepang jalur SS di sebelah utara dicabut untuk dibawa ke Thailand-Burma dan meninggalkan jalur NIS yang juga disempitkan lebarnya menjedi 1435 mm.
Bekas pondasi jembatan SS masih terlihat jelas. Kalau kita mau ke Malioboro dari Jalan Mangkubumi maka sewaktu menuruni jalan sebelum lewat di bawah jembatan KA maka terlihat bangunan beton tebal yang telah ditulisi Yogyakarta Berhati Nyaman (kalau tidak salah). Nah itulah sisa pondasinya.

Ersta Kurniawan

Selasa, 02 Desember 2008

Lok "hilang" pada penjajahan Jepang dan setelahnya

Meskipun mayoritas lok-lok yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan kereta api pada masa penjajahan Belanda terus dipakai oleh perusahaan KA Indonesia pada era kemerdekaan, tidak semua seri lok yang namanya kita kenal benar-benar pernah digunakan. Berikut ini adalah beberapa di antaranya.

Lok C52, kelas yang hilang?

Mungkin sudah merupakan “pengetahuan umum” bahwa lokomotif seri C52 tidak pernah dipakai lagi di Indonesia setelah perang kemerdekaan. Memang benar bahwa lokomotif yang semula bernomor 381-400 milik NIS G/S ini tidak pernah dipakai oleh perusahaan kereta api Indonesia. Tapi apakah tak satupun lok ini masih bertahan di Indonesia, paling tidak hingga masa perang kemerdekaan?

Berikut ini adalah saduran dari sebuah tabel dari Jan de Bruin, Het Indische Spoor in oorlogstijd (hal. 194), tentang nasib masing-masing lok seri C52 setelah mereka dikonversi untuk bisa berjalan di rel selebar 1000 mm (dari semula 1067 mm)

· C521 dan C526:
ke Malaya, kemudian dipindahkan ke Kamboja, dinomor ulang 230-001 dan 230-002

· C522, 3, 12, 15, 16, 17 dan 19:
ke Muangthai, dinomor ulang 751-757 (urut), dijual oleh SS/VS (pengelola KA di daerah yang diduduki Belanda pada masa perang kemerdekaan) dan dibesituakan sekitar tahun 1955, kecuali C52.19 yang dipensiunkan tahun 1946 setelah kecelakaan

· C524, 5, 7, 8, 9, 11, 13, 14, 18 dan 20:
ke Malaya, dikembalikan ke Indonesia tahun 1949, dibesituakan (karena sudah telanjur disempitkan jarak antar rodanya)

· C5210:
tertinggal di Balai Yasa Yogya, dibesituakan (karena sudah telanjur disempitkan jarak antar rodanya)

C30, juga nyaris hilang

Nasib serupa dialami setidaknya 14 buah lok seri C30 (SS kelas 1700) masa penjajahan Jepang. Lok-lok yang berbasis di Jawa ini (selain nomor 1701-1721 yang ada di Jawa, nomor 1761-1783 ada di Sumatera Selatan dan 1791-1793 di Sumatera Barat) juga dibawa ke Malaya. Empat di antaranya terdampar di Kamboja, dinomor ulang 131-001 hingga 131-004.

· Tujuh lok dijual oleh SS/VS ke Indocina (tidak disebutkan ke negara mana).

· Tiga lok dibawa ke jalur Muaro-Pekanbaru yang dibangun oleh para romusha. Salah satunya tertinggal di tempat bernama Silokah.

Lok-lok “breedspoor”

Sementara itu, apa yang terjadi dengan lok-lok “breedspoor” (lok dengan jarak antar rel 1435mm)? “Konon” mereka dikirimkan ke Manchuria, demikian dikatakan banyak penulis. Namun, sebenarnya tidak satupun dari mereka sempat dibawa ke luar negeri. Beberapa dari rekan-rekan yang penggemar sejarah perang mungkin memahami bagaimana Jepang tercekik oleh perang kapal selam besar-besaran yang dilancarkan Amerika Serikat, hingga praktis hubungan antara Jepang dan koloni-koloninya terganggu.

Berikut ini saduran dari suatu daftar (memo internal NIS) yang dikutip dari sumber yang sama di atas.

· Jenis B1

· 19 dipreteli, disiapkan untuk dikirim di Semarang.

· 23 dan 28 dalam kondisi baik tanpa tender, beberapa komponen tidak ada.

· Jenis 1’C1’ (t)
51-57 dalam kondisi tidak siap pakai setelah disimpan sejak tahun 1929 di Yogya

· Jenis 1’D
63 dipreteli dan disiapkan untuk dikirim di Yogya

· Jenis 2’C

· 81-83 kekurangan kecil, namun selebihnya baik, di Semarang.

· 84 dan 86 dalam kondisi tidak siap pakai setelah disimpan sejak tahun 1929 di Yogya

· 85 dan 89 dipreteli, komponennya dipak, di Priok

· 90, 91, 93 banyak kekurangan, di Semarang

· 92 dan 94 dipreteli, disiapkan untuk dikirim di Semarang

· Jenis C (t)

· 106 berjalan hingga bulan Agustus 1945 di pelabuhan Semarang

· 152 dipreteli, disiapkan untuk dikirim di Semarang

· 4 lok lain dari seri 151-160 mengalami kerusakan silinder, di Yogya

Lok-lok lain semua ada di Yogya atau Semarang, tanpa keterangan mengenai kondisi. Di halaman 201 buku tersebut terdapat foto lok no. 121 pada tahun 1956 di belakang Balai Yasa Pengok, juga dalam CD foto Rob Dickinson Incredible Indonesia terdapat dua foto yang menggambarkan sebuah lok tipe B1 dan C(t) pada tahun 1970-an. Komentar tambahan pada foto tersebut (dan juga pengamatan langsung) menunjukkan bahwa saat ini sudah tidak ada lagi sisa-sisa dari lok-lok tersebut.

Lok-lok “breedspoor” ini tidak pernah dinomor ulang oleh Jepang menjadi seri Bxx.x atau Cxx.x.

Sisa jalur “breedspoor” antara lain adalah sebuah bogie di Balai Yasa Manggarai (dilihat tahun 2003) dan sebuah gerbong jenazah milik Kasunanan Solo (yang memang “convertible” ke rel dengan jarak lebar 1067 mm).

Sebagian besar material yang dapat diidentifikasi sebagai milik perusahaan-perusahaan KA di Hindia Belanda, seperti gerbong barang dan rel memang dikembalikan, sayangnya pada saat pengembalian itu, Belanda masih berkuasa….

DD50, kelas yang tidak pernah ada

Perusahaan kereta api negara Staatsspoorwegen memiliki 20 lok Mallet dengan susunan roda (1’D)’D buatan pabrik lokomotif Alco, Amerika Serikat, pada tahun 1916-1919. Lok-lok ini datang dalam dua seri: 1201-1208, dan 1212-1220. Antara kedua seri ini terdapat sejumlah perbedaan detil, dan seri kedua sedikit lebih baik. Pada masa penjajahan Jepang, pada akhir tahun 1942, lok-lok dari seri pertama dinomor ulang menjadi DD50, dan dari seri kedua menjadi DD51.

Namun, lok-lok 1201-1208 sebenarnya hanya “kelas kertas,” artinya hanya ada dalam buku, dan tidak ada dalam kenyataan. Depresi besar yang melanda dunia pada tahun 1929 menyebabkan banyak kelas lok SS terpaksa disimpan, termasuk seri 1201-1208 yang telah dibongkar sebelum tibanya Jepang. Jadi lok-lok ini memang bernasib sial, tidak berumur sepanjang adik-adiknya yang sempat dipakai hingga tahun 1968-9 (hingga awal tahun 1980-an mungkin sisanya masih bisa ditemukan di Purwakarta, Surabaya Sidotopo dan Madiun).

Lok-lok SS lainnya yang sempat dikonservasi, namun bernasib lebih baik antara lain lok seri 600 (B51), 900 (D50), 1250 (DD52) 1400 (D14). Selain seri 600 yang hendak dipensiunkan secepatnya (namun ternyata bertahan hingga tahun 1984 di jalur Rangkasbitung!), lok-lok ini diperbaiki lagi pada akhir dekade 1930-an, bahkan untuk kedua seri D ini diperbaiki hingga mampu mencapai kecepatan jauh lebih tinggi daripada rancangan aslinya.

Lok yang digunakan di jalur Muaro-Pekanbaru

Ada beberapa lok yang sempat dikirim oleh Jepang untuk pembangunan (dan untuk pemakaian) di jalur Muaro-Pekanbaru, yang diselesaikan tepat pada hari menyerahnya Jepang kepada Sekutu, antara lain beberapa lok SCS seri 200 (kemudian menjadi C54), lok SS seri 600 (B51) dan 1700 (seperti telah ditulis di atas), lok DSM nomor 7 dan 56 (tipe B1(t)), 30 (tipe B(t)), 60 dan 66 (tipe 1’B1’(t)). Hanya dua lok yang disebut terakhir yang dikembalikan ke pemilik sahnya, karena sisanya keburu terjebak jembatan-jembatan yang runtuh di jalur tersebut. Di halaman 115-119 terdapat foto-foto lok dan gerbong yang terjebak di antara hutan belantara Sumatera, yang diambil gambarnya pada tahun 1984.

Inkonsistensi penomoran ulang oleh Jepang

Terakhir, sedikit inkonsistensi dalam penomoran ulang oleh Jepang. Seri B12 mencakup lok-lok tram eks SJS (no. 40-61) dan OJS (no. 13-38) (tidak semuanya). Ini sebenarnya hal yang logis karena kedua perusahaan ini menggunakan lok yang desainnya serupa.

Namun, lok seri C13 dan C22 yang juga sebenarnya sama persis, dibedakan menjadi dua kelas. C13 dimiliki oleh SS, dan C22 dimiliki oleh Passoeroean Stoomtram Mij. Keduanya sama-sama bekas milik sebuah proyek irigasi lembah Bengawan Solo yang gagal yang dijual ke SS, baru kemudian sebagiannya dijual ke PsSM.

Lok NIS seri 250-263 dibagi menjadi empat kelas lok: C16, C17, C18 dan C23. Seri C18 dan C23 masing-masing hanya memiliki satu lok. Semua lok ini aslinya serupa, hanya ada yang telah dipasangi superheater dan/atau klep piston. Demikian juga seri 371-400 dibagi menjadi dua kelas: C51 dan C52, padahal perbedaannya hanya sedikit.

Anehnya, lok SS seri 800 (F10) hanya menjadi satu kelas, padahal 2 lok terakhirnya (buatan Hanomag) memiliki perbedaan yang tidak kurang dari perbedaan antar lok-lok di atas. Demikian pula lok SS seri 521-543 dan 551-561 (yang aslinya saja pun sudah jelas dianggap sebagai dua kelas) semuanya digabungkan menjadi satu kelas, CC10.

Terakhir, lok D12.1. Lok ini sebenarnya sama dengan seri C25, dan kemungkinan merupakan kesalahan administratif semata hingga menjadi satu kelas yang terpisah. Lok D12.1 ini kemudian diganti nomor menjadi C2506, yang sampai dekade 1980-an masih terlihat di sekitar Pasuruan.

Mungkin perlu diperhatikan bahwa penomoran asli Jepang berformat seperti ini: BB106 (lihat foto hal 121) tanpa titik, tanpa spasi. Kemudian ada pula format menggunakan titik, seperti B22.14 (lihat foto hal.146), yang mestinya lebih jelas dibandingkan format di atas. Angka nol di depan nomor untuk lok bernomor kurang dari 10 (01-09) kemungkinan baru dipakai setelah tahun 1950, dengan munculnya lok seri D52 (tepatnya, D 52001 sampai D 52 100, perhatikan spasi antara huruf dan angka).

Pada masa SS/VS, sebagian lok yang dikelolanya dikembalikan lagi ke nomor aslinya, misalnya C505 dikembalikan menjadi 710 SS (hal. 145) dan B22.14 yang juga memakai nomor NIS 319 sekaligus juga pelat nama “J. Kraus” (hal. 146). Jadi tidak tepat juga anggapan bahwa nomor seri a la Jepang ini digunakan tanpa perubahan sejak tahun 1942 hingga kini.

Di masa kini, untuk konsistensi mungkin seharusnya lok seri CC 201 01 hingga CC 201 139 dinomor ulang mulai dari CC 201 001 (perhatikan jumlah digit). Namun, dalam pendapat saya sistem penomoran ini bisa disederhanakan, karena di masa depan jumlah as penggerak (huruf BB atau CC), dan juga nomor awal (1xx=transmisi mekanik, 2xx=transmisi elektrik, 3xx=transmisi hidraulik) tidak relevan lagi. Jumlah as penggerak baru relevan pada lok uap, karena berkaitan dengan traksinya, sementara di masa depan, kemungkinan besar kita hanya akan menggunakan lok dengan transmisi elektrik. Mungkin di masa depan kita bisa kembali menggunakan sistem penomoran yang seluruhnya menggunakan angka.

Dari Indra Krishnamurti

Senin, 01 Desember 2008

Bisnis Properti Sudah Kebal Krisis

BELAKANGAN ini banyak kalangan yang khawatir dan bertanya-tanya, akankah dampak krisis finansial global yang terjadi saat ini akan terulang kembali seperti yang pernah kita alami bersama sepuluh tahun lalu ketika krisis moneter ”menghancurkan” perekonomian Indonesia?

Sebenarnya pertanyaan semacam ini telah terlontar lima tahun lalu ketika ekspansi bisnis properti di negeri kita ini begitu bergelora. Pembangunan ruko, apartemen, mal,dan pusat perbelanjaan tak lagi hanya berlangsung di Jakarta, tetapi sudah menjalar ke seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia.

Nah, sekarang pertanyaan yang sama muncul kembali ketika krisis finansial global yang diawali dari Amerika Serikat menjalar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sangatlah sulit untuk meyakinkan semua orang, apa pun jawaban yang kita berikan. Namun, sangatlah mudah untuk mengatakan bahwa dampak krisis finansial global saat ini tidak akan mengguncang perekonomian negara kita, apalagi menghancurkannya seperti yang terjadi tahun 1998. Mengapa demikian? Karena, situasi dan kondisi sosial ekonomi dan politik di negara kita saat ini amatlah berbeda bila dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu.

Krisis yang terjadi pada saat itu (tahun 1998) adalah puncak dari sebuah perjalanan sejarah bangsa dengan politik yang sangat sentralistik dan tertutup. Belum lagi perekonomian yang sangat bergantung pada utang luar negeri, baik pemerintah maupun pihak swasta.

Dikendalikan pengusaha

Saat itu bank-bank swasta yang dimiliki para konglomerat dan bank-bank pemerintah yang dikendalikan pengusaha yang dekat dengan penguasa begitu berambisi membangun bisnis propertinya yang bersifat jangka panjang dan ditopang dengan dana bank yang bersifat jangka pendek.

Kalangan perbankan pun jorjoran mengucurkan dananya untuk membiayai proyek-proyek properti skala besar alias megaproyek. Ketika itu para bankir demikian agresif menyalurkan kredit ke sektor properti, pengawasan dari Bank Indonesia juga masih sangat lemah. Para bankir leluasa mengucurkan dana pihak ketiga untuk membiayai proyek-proyek properti yang digarap oleh kelompok usahanya sendiri.

Waktu itu, praktik pelanggaran legal lending limit (batas maksimum pemberian kredit- BMPK) dan mark up nilai proyek sangat lazim dilakukan. Ketika perekonomian nasional sedang sehat, melaju kencang di atas 7 persen per tahun, semua borok-borok itu bisa ditutupi. Toh, ada juga beberapa bank yang ”jebol” karena melakukan pelanggaran yang ”kebangetan”.

Ambruknya Bank Summa (1991), Bank Pacific (1995), dan Bank BHS (1997) menunjukkan betapa berbahaya dan besarnya dampak negatif yang muncul dari ”perselingkuhan” perbankan dan pengembang. Maka, ketika krisis mata uang yang terjadi di Thailand yang berawal dari ekspansi bisnis properti lalu menjalar ke Indonesia, tersungkurlah bank pemerintah dan swasta yang sangat getol membiayai bisnis properti waktu itu.

Para pengembang yang tadinya berkibar-kibar dengan sederet proyek kebanggaannya langsung tersungkur. Mereka bangkrut karena tidak kuat lagi menanggung beban utang yang tiba-tiba menggunung seiring dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Para pengembang pun ramai-ramai masuk ruang gawat darurat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Semua pengembang papan atas menjadi pasien BPPN.

Namun, pada 1999-2000, beberapa pengembang yang kebal krisis mulai kembali menggarap bisnis properti. Restrukturisasi utang pengembang melalui BPPN tahun 2001 menjadi stimulus dan landasan berpijak yang baru bagi para pengembang untuk kembali menekuni proyek-proyek propertinya. Sejak itu pula bisnis properti bergerak kembali dan bahkan menjadi lokomotif yang menggerakkan gerbong perekonomian nasional pascakrisis.

Kapitalisasi proyek properti

Sejak tahun 2003, pertumbuhan bisnis properti nasional tidak bisa dibendung lagi. Akibatnya, nilai kapitalisasi proyek properti nasional mengalami lonjakan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Puncaknya terjadi tahun 2005, dengan nilai kapitalisasi bisnis properti Rp 91,01 triliun. Atau meningkat hampir sepuluh kali lipat dibandingkan dengan nilai kapitalisasi tahun 2000 yang ”hanya” Rp 9,51 triliun.

Pertumbuhan bisnis properti yang sangat fantastis itu tak terbendung lagi oleh gonjang-ganjing politik (pelaksanaan Pemilu 2004) dan kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), bahkan sebanyak enam kali terjadi sejak tahun 2004.

Nah, sekarang timbul pertanyaan, bagaimana dampak krisis finansial global itu terhadap bisnis properti Indonesia saat ini? Memang harus diakui sedikit banyak krisis finansial yang melanda dunia saat ini pastilah berdampak pada bisnis properti di Indonesia.

Bayangkan, di tengah krisis subprime mortgage di AS, yang pengaruh negatifnya langsung ditransmisikan ke negara-negara lain, seperti kawasan Eropa, Kanada, Australia, Hongkong, dan Singapura, bisnis properti nasional sama sekali tak terpengaruh. Harga properti yang berguguran di negara-negara lain sama sekali tidak terjadi di Indonesia.

Nah, dampak negatif yang berembus dari krisis subprime mortgage di AS dan kenaikan harga BBM yang sempat mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah terasa secara global, yakni berupa peningkatan laju inflasi yang sangat signifikan, bahkan merupakan laju inflasi tertinggi yang terjadi dalam 25 tahun terakhir.

Di Singapura, misalnya, yang perekonomiannya terkenal stabil dengan laju inflasi tahunan yang rata-rata cuma 2,5 persen, tahun ini diperkirakan inflasinya akan melonjak hingga 7,8 persen. Begitu pula di Malaysia, yang laju inflasinya hanya sekitar 3 persen, tahun ini akan menembus 7 persen. Adapun Australia yang laju inflasinya rata-rata hanya sekitar 4 persen tahun ini akan mencapai 7,5 persen.

Namun, jika menyimak nilai kapitalisasi proyek properti nasional sebagaimana terlihat pada tabel, tampak bahwa sejak tahun 2003 sektor properti di Indonesia dengan nilai Rp 50,7 triliun bertumbuh secara konsisten menjadi Rp 77,4 triliun hampir tidak mengenal masa resesi. Yang terjadi adalah, dari tahun ke tahun, sektor properti Indonesia bergerak dari booming yang satu ke booming yang lain. Bisnis properti Indonesia bergerak dari puncak gunung yang satu ke puncak gunung yang lain tanpa pernah tergelincir ke lembah.

Ekspansi bisnis properti pascakrisis tahun 2003 hingga 2008, kredit properti yang dipakai pengembang mencapai Rp 186,3 triliun, (lihat tabel) sebagian besar atau 64 persen senilai Rp 119 triliun adalah kredit pemilikan rumah (KPR). Sementara kredit konstruksi dan kredit real estat hanya mencapai 36 persen, masing-masing 21,9 persen atau senilai Rp 40,8 triliun adalah kredit konstruksi dan 14,22 persen atau Rp 26,5 triliun adalah kredit real estat.

Konsumen semakin pandai memilih proyek-proyek properti yang akan dibelinya dengan menyeleksi pengembang yang sudah teruji lolos dari krisis. Mereka semakin pintar untuk memilah pengembang yang kredibel dan memilih proyek yang sesuai dengan kemampuan ekonominya.

Mereka membeli sesuai dengan kebutuhannya. Tidak banyak konsumen yang menebar uang di banyak proyek properti sebagai ajang spekulasi. Mereka juga lebih berhati-hati dalam memilih proyek properti, dengan melihat bagaimana track record pengembangnya.

Kenapa sektor properti Indonesia tidak terpengaruh? Kenapa bisnis properti nasional seakan- akan begitu tangguh? Sekali lagi, hal ini merupakan anomali yang sulit dijelaskan. Ya, benar-benar merupakan ketidaklaziman dalam dinamika bisnis properti nasional.

Soalnya, pada masa lalu, ketika krisis moneter menerjang kawasan Asia, yang dimulai dari Thailand, justru Indonesia merupakan negara yang paling parah terkena dampaknya dibandingkan dengan negara lain, seperti Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan. Dan, sektor properti Indonesia terperosok paling dalam ke kubangan krisis, di samping sektor keuangan dan perbankan.

Nah, dalam situasi krisis global yang terjadi belakangan ini, bisnis properti di Indonesia seakan- akan kebal dari penyakit ekonomi yang mengkhawatirkan banyak negara itu. Padahal, ketimbang negara lain, seperti Singapura, China, dan Uni Emirat Arab, bisnis properti Indonesia relatif masih tertutup bagi investor asing.

Tak pernah kehabisan

Para pengembang di Indonesia seperti tidak pernah kehabisan ”amunisi” untuk terus mengguyur pasar properti nasional dengan berbagai proyeknya. Buktinya, hanya dalam tempo dua tahun (2007-2009), tidak kurang dari 33.000 unit rumah susun sederhana milik (rusunami) diluncurkan para pengembang. Jika harga rusunami itu rata-rata Rp 175 juta per unit, nilai kapitalisasi dari proyek rusunami saja mencapai Rp 5,7 triliun.

Yang lebih fantastis, para pengembang juga terus merancang berbagai megaproyek properti lewat superblok. Pada masa mendatang, ekonomi Indonesia diperkirakan akan melaju rata-rata 7-9 persen per tahun, persis seperti sebelum terjadi krisis ekonomi. Indikasinya tampak jelas dari kinerja ekspor yang semakin mantap hingga menembus 100 miliar dollar AS tahun 2007.

Meski laju inflasi tahun 2008 akan cukup tinggi, yakni mencapai sekitar 12 persen, akibat kenaikan harga komoditas pangan internasional dan penyesuaian harga BBM di pasar domestik, pemerintah, Bank Indonesia, dan kalangan perbankan pada umumnya merasa sangat yakin bahwa laju inflasi akan kembali mereda pada tahun 2009, turun lagi ke level 6 persen-6,5 persen.

Nah, hal itulah yang membuat para pengembang sama sekali tak merasa ragu untuk terus meluncurkan proyek-proyek propertinya. Dengan demikian, bisnis properti yang terus bergairah sejak tahun 2002 akan menemukan momentum untuk mencapai booming pada tahun 2010-2011.

Fenomena seperti itu benar- benar merupakan sebuah anomali dalam sejarah bisnis properti Indonesia, bahkan dunia. Sebab, di mana pun juga tidak ada sebuah sektor ekonomi yang mampu terus-menerus selama satu dekade. Selalu ada proses alamiah yang membuat suatu usaha berkembang, lalu jeda sesaat atau melemah, untuk kemudian tumbuh lagi.

Salah satu faktor yang membuat para pengembang se- makin bersemangat membangun proyek-proyek propertinya adalah keyakinan bahwa pemerintah baru pada tahun 2009 akan membuat kebijakan terobosan. Salah satunya adalah membuka akses yang lebih luas bagi investor asing untuk masuk ke bisnis properti nasional.

Tak heran jika para pengembang terus meluncurkan proyek-proyek properti terpadu yang sangat prestisius, seperti StMoritz dengan nilai investasi Rp 11 triliun, Kemang Village (Rp 12 triliun), Ciputra Mall (Rp 14 triliun), Kuningan City (Rp 6 triliun), Kota Casablanca (Rp 7 triliun), Gandaria City (Rp 6,5 triliun), dan Tangerang City (Rp. 4,4 triliun).

Semua proyek properti itu seakan-akan merupakan antisipasi para pengembang menyambut hadirnya investor asing ke bisnis properti nasional pada kurun waktu 2009 dan seterusnya. Nah, jika semua skenario yang dipaparkan di atas terjadi, booming properti pada tahun 2010-2011 bukan hal yang mustahil terjadi.

Karena sikapnya yang sangat ”fanatik” terhadap properti sebagai instrumen investasi, para pengembang dari mancanegara pun semakin banyak yang menawarkan proyek-proyek propertinya ke Indonesia, seperti yang dilakukan para pengembang dari Singapura, Malaysia, Kanada, dan Australia. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, pengembang dari AS juga gencar menawarkan proyek-proyek properti di New York dan California.

Disarikan dari Panangian Simanungkalit

Penataan Kota Malang

Kota Malang dibangun tidak dengan serta merta, melainkan melalui tahap-tahap yang berkelanjutan. Sebelum ditata secara bertahap, kota Malang cenderung memiliki pola perkembangan yang linier, bagai pita yang membujur utara-selatan sepanjang jalan poros Malang-Surabaya.

Pola yang demikian kurang baik untuk perkembangan lebih lanjut. Oleh karena itu, Kota Malang perlu diperluas ke arah timur dan barat. Namun, perluasan ke arah barat dan timur itu terhalang oleh aliran Sungai Brantas dan Bango di sisi timur serta aliran Kali Metro di barat, yang prakstis menjadi batas terluar perkembangan Kota Malang ketika itu.

Posisi Alon-alon yang fital bagi masyarakat Jawa menjadikan penataan kota mengambil Alon-alon sebagai titik sentrum. Kawasan terbangun ditata dengan pola jejala, dengan Alon alon sebagai semacam titik tengah pertemuan dari jalan-jalan kota.

Untuk mengendalikan perubahan bentuk kota yang cenderung mengarah utara-selatan, Kotapraja Malang dari tahun 1917-1929 mengeluarkan 8 buah rencana perluasan kota (bouwplan). Pada tahun sebelumnya (1914-1916), perhatian pemerintah lebih banyak diarahkan kepada peningkatan sarana dan prasarana kota, seperti penyediaan air bersih, jaringan listrik, perbangkan dengan mendirikan “Javasche Bank (kini Bank Indonesia)”, per-hotelan dengan membuka “Palace Hotel (kini Hotel Pelangi)”, serta mendirikan perusahaan tanah guna meminimalkan ulah para spekulan tanah.

Bouwplan I: Keputusan rapat Dewan Kota (Gemeenteraat) tanggal 13 April 1916, namun baru dilaksanakan 18 Mei 1917. Tujuannya membangun daerah perumahan baru untuk golongan orang Eropa di antara Celaket - Rampal. Naman jalan menggunakan nama anggota keluarga kerajaan Belanda, sehingga dinamai “Oranyebuurt”.

Lokasi ini terbilang strategis, sebab dekat dengan jalan darat utama Malang–Surabaya dan stasiun kereta api Kota Baru. Sungai Brantas yang mengalir utara-selatan membelah kota dijadikan bagian dari landscaping kota. Luas bouwplan I: 12.929 m².

Buumplan II: Keputusan rapat Gemeenteraat 26 April 1920, namun baru dilaksanakan tahun 1922 dengan tujuan membentuk daerah pusat pemerintahan yang baru, yakni Kotapraja (Gemeente) Malang, yang dibentuk 1 April 1914. Berintikan lapangan terbuka berbentuk bundar dengan bagian di tengah berupa kolam air mancur, yang kemudian populer dengan sebutan “Alon-alon Bunder”. Di sekitanya didirikan bangunan resmi dan monumental seperti Balai Kota, hotel Splendid, sekolah HBS/AMS, stasiun kereta api, rumah tinggal panglima militer dsb. Jalan-jalan diberi nama dengan nama para gubernur jendral terkenal masa Hindia-Belanda sehingga dinamai “Gouverneur-Generaalbuurt”.

Lapangan bundar itu dinamai J.P. Coen Plein. Dibangun jalan bersumbu timur-barat dari Stasiun KA melintasi Alon-alon Buder dan Kali Brantas, memotong jalan poros Kayutangan hingga terbentuk perempatan jalan utama, dan seterusnya kearah barat hingga nantinya mencapai Jl. Besar Ijen. Luas bouwplan II: 15.574 m².

Bouwplan III: Keputusan rapat Gemeenteraat 26 Agustus 1919 dan 26 April 1920, dengan maksud untuk membangun areal pemakamkam yang cukup luas guna menampung kebutuhan akan makam bagi orang Eropa yang tinggal di Malang.

Lokasi terpilih adalah daerah Soekoen yang berada di tenggara kota, yang kala itu belum padat penduduk. Kompleks makam ini sekaligus digunakan untuk penampung pindahan makam orang-orang Eropa tertua di Klojen Lor. Luas bouwplan III : 3.700 m².

Bouwplan IV: Diperuntuk bagi perumahan kelas menengah ke bawah diantara Celaket-Lowokwaru, yang didalamnya terdapat komleks kuburan Samaan (6.2045 Ha), sekolah dan lapangan olah raga tersendiri. Nama jalan menggunakan nama sungai. Luas bouwplan IV: 41.401 m².

Bouwplan V: Rencana pembangunan dimulai tahun 1924/1925. Diperuntukan bagi perumahan golongan Eropa dengan rumah tipe vila. Lokasi di bagian barat kota dari arah Kayutangan, yang berpermukaan tanah relatif tinggi. Dibangun jalan poros timur-barat untuk menyambung jalan poros dari bouwplan II serta jaringan jalan dari Alon-alon ke arah Taloon. Jalan utama dalam bouwplan V adalah Jl. Besar Ijen yang membujur utara-selatan dan dilengkapi dengan jajaran pohon palem, serta taman-taman kota di setiap perpotongan jalan.

Selain itu dilengkapi dengan stadion di sekitar Jl. Semoeroe. Nama jalan diambil dari nama gunung (bergenbuurt). Luas bouwplan V: 16.768 m².

Bouwplan VI: Areal terbangun berada di sebelah selatan Alon-alon dan dari Sawahan ke arah timur serta barat. Nama jalan di ambil dari nama pulau-pulau, sehingga lazim dinamai dengan “Eilandenbuurt”. Terkait dengan perluasan kota pada bouwplan VI ini, pihak Gemeente Malang menaruh perhatian guna memperluas Pasar Pecinan, dengan membangun pasar sore dan pasar malam di Pasar Pecinan (1932) serta pembangunan termina bus di belakang Pasar Pecinan (1937). Luas bouwplan VI : 220.901 m².

Bouwplan VII : Dimaksudkan untuk melanjutkan pembangunan bagian barat kota pada bouwplan V, yaitu perumahan elit tipe vila berukuran besar serta arena pacuan kuda. Sebagaimana nama jalan di sekitarnya yang dibangun pada masa sebelumnya, jalan-jalan yang dibangun dalam bouwplan VII juga mengambil nama gunung. Luas bouwplan VII : 252.948 m².

Bouwplan VIII: Dimaksudkan untuk membangun zona industri bagi perusahan-perusahaan Besar. Zona industri ini dlengkapi dengan jalan kereta api . Oleh karenanya, lokasi yang dipilih berdekatan dengan emplasemen kereta api dan trem uap di selatan kota. Luas bouwplan VIII : 179.820 m².

Dengan adannya perluasan kota tahap I-VIII diatas, Kota Malang bertambah lu-as 744.064 m² dari luas semula. Selanjutnya, pembangunan diarahkan pada terbentuknya sebuah kota sebagai suatu kesatuan organis. Tidak cukup hanya dengan pekerjaan teknis, namun perlu pula dilakukan tindakan-tindakan organisasi dan perencanaan yang baru.

Untuk kepentingan itu, pihak Gemeente Malang menunjuk Thomas Karsten sebagai penasihat (adviseur) resmi Kota Malang dari tahun 1929 hingga 1935. Terhitung dari tahun 1935 s.d. 1940 pihak Gemeente Malang melakukan perluasan tambahan bagi kota Malang, yang di-beri sebutan “Rencana Tambahan Global”, meliputi: rencana jaringan jalan utama, rencana tanam dan ruang luar, serta rencana jaringan kereta api dan tram. Dengan adana jaringan transportasi itu, ke arah utara wilayah kota Malang meluas hingga mencapai Blimbing dan ke barat hingga mencapai daerah yang diberi nama dengan nama kota-kota.

Mengutip dari:

Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum
(Universitas Negeri Malang)

Trekking Kotagede-Pundong

Assalamualaikum. Wr. Wb. Tanggal 31 Agustus 2008 IRPS Yk sepakat melakukan kegiatan menjelang bulan puasa. Kegiatan ini adalah menelusuri jalur mati Ngabean-Pundong yang telah dicabut Jepang pada perang dunia II.

Jalur ini merupakan jalur cabang dari jalur Yogya-Bantul-Sewugalur yang dimulai dari Stasiun Ngabean dengan lebar 1435 mm. Jalur ini dibangun dalam dua tahap yaitu Ngabean-Pasar Gedeh (Kotagede) pada 15 Desember 1917 dengan panjang 6 kilometer. Kemudian pada 15 Januari 1919 dilanjutkan pada ruas Pasar Gedeh-Pundong dengan panjang 21 kilometer (Sumber: Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1, Penerbit Angkasa, Bandung). Jalur ini selain untuk melayani angkutan manusia juga melayani angkutan untuk pabrik gula. Oleh karena itu jalur ini melewati beberapa pabrik gula tua yaitu Kedaton Pleret, Bambanglipuro (Ganjuran), dan Pundong.

Kami berkumpul di Lempuyangan dengan peserta Saya, Mas Bagas, Ny Bagas, Habib, dan Ican. Tracking dimulai pulul 15.30 sore dikarenakan terjadi kesalahan informasi. Kami mengawali tracking dari Kotagede. Untuk lebih mudah dibaca kami akan menjelaskan dalam beberapa tahap yaitu:

1. Kotagede-Ringroad

Jalur dari Kotagede sampai Ringroad timur sudah berubah menjadi jalan kampong. Disini tidak ditemukan bekas-bekas jalur KA. Tetapi kami bias mengenali kalau jalur ini adalah jalur KA dengan melihat tikungannya yang khas. Di akhir tahap ini kemudian terlihat bahwa jalur ini menyeberang Ringroad. Kami kehilangan jejak ketika menelusuri di seberang Ringroad dikarenakan telah berubah menjadi rumah penduduk dan tak tampak lagi jalurnya.

2. Ringroad-Pleret

Jalur dari seberang Ringroad sampai Kota Pleret tak jelas bekas-bekasnya sehingga kami kehilangan jejak.

3. Pleret-Pundong

Lepas Pleret kami mulai mengenali sebuah tikungan jalan raya yang khas sehingga kami dapat mengenali kalau jalur KA sejajar dengan jalur mobil. Jalur ini sejajar jalan raya yang melewati sentra onderdil sepeda motor di Jejeran. Ketika jalur ini akan melewati Jalan Imogiri Barat jalur ini membelok ke selatan membentuk tikungan yang terpisah dari Jalan Raya Jejeran. Jalur ini kemudian menuju selatan dan sejajar dengan Jalan Imogiri Barat.

Setelah sebuah perempatan yang ada lampu merahnya jalur ini menjauhi jalan raya mengarah ke barat dengan membentuk tikungan. Pada tikungan ini kami menemukan jembatan beton. Setelah itu jalur ini mengarah ke barat. Jalur ini menjadi jalan kampung sampai kemudian kami menemukan jalan menurun yang buntu ke arah sungai yang ujungnya ada sebuah bangunan beton. Ternyata ini adalah pondasi sebuah jembatan yang besinya sudah hilang. Kalau melihat struktur pondasi, jembatan ini setipe dengan jembatan kewek..

Kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan melewati jembatan mobil di sebelah selatan jembatan KA. Kami terus menyusuri jalur ini tetapi kami kesulitan pada jalur yang terletak jauh di tengah sawah sehingga kami sempat kebingungan juga. Jalur ini kemudian terlihat mendekati Jalan Parangtritis yang kami perkirakan mendekati pabrik gula Bambanglipuro (Ganjuran).

Sampai di Pundong kami kaget ketika mendapati ex pabrik gula Pundong yang pada tahun 2007 masih terlihat beberapa pondasinya, sekarang sudah dihancurkan untuk dibuat suatu bangunan entah apa. Kami tidak berani memotret dikarenakan banyak pnjaga di proyek ini. Kami memperkirakan stasiun Pundong tidak jauh dari pabrik gula. Kemudian kami terus menyusuri jalur ini yang kemudian berbelok menjauhi jalan raya ke arah barat. Kami memperkirakan di sinilah depo kereta api dengan melihat sumur tua di tengah sawah yang berukuran besar dengan empat tiang mungkin bekas tower. Kami juga mendapat info kalau di halaman warga ada turn tabel tapi kami meragukannya dikarenakan hanya terbuat dari susunan batu tanpa disemen.

Inilah akhir dari perjalanan kami, kami masih penasaran dengan ruas Ringroad-Pleret dimana kami kehilangan jejak sehingga apabila ada waktu ingin juga ditelusuri lagi. Begitu juga dengan jalur Palbapang-Sewugalur (Galur) yang sudah tak berbekas, ingin juga kami telusuri pada waktu lain. Apabila ada informasi tambahan tentang jalur-jalur ini maupun komentar dari tulisan dan foto kami, kami sangat berterima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb

Ersta Kurniawan, IRPS Yk