Senin, 01 Desember 2008

Bisnis Properti Sudah Kebal Krisis

BELAKANGAN ini banyak kalangan yang khawatir dan bertanya-tanya, akankah dampak krisis finansial global yang terjadi saat ini akan terulang kembali seperti yang pernah kita alami bersama sepuluh tahun lalu ketika krisis moneter ”menghancurkan” perekonomian Indonesia?

Sebenarnya pertanyaan semacam ini telah terlontar lima tahun lalu ketika ekspansi bisnis properti di negeri kita ini begitu bergelora. Pembangunan ruko, apartemen, mal,dan pusat perbelanjaan tak lagi hanya berlangsung di Jakarta, tetapi sudah menjalar ke seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia.

Nah, sekarang pertanyaan yang sama muncul kembali ketika krisis finansial global yang diawali dari Amerika Serikat menjalar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sangatlah sulit untuk meyakinkan semua orang, apa pun jawaban yang kita berikan. Namun, sangatlah mudah untuk mengatakan bahwa dampak krisis finansial global saat ini tidak akan mengguncang perekonomian negara kita, apalagi menghancurkannya seperti yang terjadi tahun 1998. Mengapa demikian? Karena, situasi dan kondisi sosial ekonomi dan politik di negara kita saat ini amatlah berbeda bila dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu.

Krisis yang terjadi pada saat itu (tahun 1998) adalah puncak dari sebuah perjalanan sejarah bangsa dengan politik yang sangat sentralistik dan tertutup. Belum lagi perekonomian yang sangat bergantung pada utang luar negeri, baik pemerintah maupun pihak swasta.

Dikendalikan pengusaha

Saat itu bank-bank swasta yang dimiliki para konglomerat dan bank-bank pemerintah yang dikendalikan pengusaha yang dekat dengan penguasa begitu berambisi membangun bisnis propertinya yang bersifat jangka panjang dan ditopang dengan dana bank yang bersifat jangka pendek.

Kalangan perbankan pun jorjoran mengucurkan dananya untuk membiayai proyek-proyek properti skala besar alias megaproyek. Ketika itu para bankir demikian agresif menyalurkan kredit ke sektor properti, pengawasan dari Bank Indonesia juga masih sangat lemah. Para bankir leluasa mengucurkan dana pihak ketiga untuk membiayai proyek-proyek properti yang digarap oleh kelompok usahanya sendiri.

Waktu itu, praktik pelanggaran legal lending limit (batas maksimum pemberian kredit- BMPK) dan mark up nilai proyek sangat lazim dilakukan. Ketika perekonomian nasional sedang sehat, melaju kencang di atas 7 persen per tahun, semua borok-borok itu bisa ditutupi. Toh, ada juga beberapa bank yang ”jebol” karena melakukan pelanggaran yang ”kebangetan”.

Ambruknya Bank Summa (1991), Bank Pacific (1995), dan Bank BHS (1997) menunjukkan betapa berbahaya dan besarnya dampak negatif yang muncul dari ”perselingkuhan” perbankan dan pengembang. Maka, ketika krisis mata uang yang terjadi di Thailand yang berawal dari ekspansi bisnis properti lalu menjalar ke Indonesia, tersungkurlah bank pemerintah dan swasta yang sangat getol membiayai bisnis properti waktu itu.

Para pengembang yang tadinya berkibar-kibar dengan sederet proyek kebanggaannya langsung tersungkur. Mereka bangkrut karena tidak kuat lagi menanggung beban utang yang tiba-tiba menggunung seiring dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Para pengembang pun ramai-ramai masuk ruang gawat darurat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Semua pengembang papan atas menjadi pasien BPPN.

Namun, pada 1999-2000, beberapa pengembang yang kebal krisis mulai kembali menggarap bisnis properti. Restrukturisasi utang pengembang melalui BPPN tahun 2001 menjadi stimulus dan landasan berpijak yang baru bagi para pengembang untuk kembali menekuni proyek-proyek propertinya. Sejak itu pula bisnis properti bergerak kembali dan bahkan menjadi lokomotif yang menggerakkan gerbong perekonomian nasional pascakrisis.

Kapitalisasi proyek properti

Sejak tahun 2003, pertumbuhan bisnis properti nasional tidak bisa dibendung lagi. Akibatnya, nilai kapitalisasi proyek properti nasional mengalami lonjakan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Puncaknya terjadi tahun 2005, dengan nilai kapitalisasi bisnis properti Rp 91,01 triliun. Atau meningkat hampir sepuluh kali lipat dibandingkan dengan nilai kapitalisasi tahun 2000 yang ”hanya” Rp 9,51 triliun.

Pertumbuhan bisnis properti yang sangat fantastis itu tak terbendung lagi oleh gonjang-ganjing politik (pelaksanaan Pemilu 2004) dan kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), bahkan sebanyak enam kali terjadi sejak tahun 2004.

Nah, sekarang timbul pertanyaan, bagaimana dampak krisis finansial global itu terhadap bisnis properti Indonesia saat ini? Memang harus diakui sedikit banyak krisis finansial yang melanda dunia saat ini pastilah berdampak pada bisnis properti di Indonesia.

Bayangkan, di tengah krisis subprime mortgage di AS, yang pengaruh negatifnya langsung ditransmisikan ke negara-negara lain, seperti kawasan Eropa, Kanada, Australia, Hongkong, dan Singapura, bisnis properti nasional sama sekali tak terpengaruh. Harga properti yang berguguran di negara-negara lain sama sekali tidak terjadi di Indonesia.

Nah, dampak negatif yang berembus dari krisis subprime mortgage di AS dan kenaikan harga BBM yang sempat mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah terasa secara global, yakni berupa peningkatan laju inflasi yang sangat signifikan, bahkan merupakan laju inflasi tertinggi yang terjadi dalam 25 tahun terakhir.

Di Singapura, misalnya, yang perekonomiannya terkenal stabil dengan laju inflasi tahunan yang rata-rata cuma 2,5 persen, tahun ini diperkirakan inflasinya akan melonjak hingga 7,8 persen. Begitu pula di Malaysia, yang laju inflasinya hanya sekitar 3 persen, tahun ini akan menembus 7 persen. Adapun Australia yang laju inflasinya rata-rata hanya sekitar 4 persen tahun ini akan mencapai 7,5 persen.

Namun, jika menyimak nilai kapitalisasi proyek properti nasional sebagaimana terlihat pada tabel, tampak bahwa sejak tahun 2003 sektor properti di Indonesia dengan nilai Rp 50,7 triliun bertumbuh secara konsisten menjadi Rp 77,4 triliun hampir tidak mengenal masa resesi. Yang terjadi adalah, dari tahun ke tahun, sektor properti Indonesia bergerak dari booming yang satu ke booming yang lain. Bisnis properti Indonesia bergerak dari puncak gunung yang satu ke puncak gunung yang lain tanpa pernah tergelincir ke lembah.

Ekspansi bisnis properti pascakrisis tahun 2003 hingga 2008, kredit properti yang dipakai pengembang mencapai Rp 186,3 triliun, (lihat tabel) sebagian besar atau 64 persen senilai Rp 119 triliun adalah kredit pemilikan rumah (KPR). Sementara kredit konstruksi dan kredit real estat hanya mencapai 36 persen, masing-masing 21,9 persen atau senilai Rp 40,8 triliun adalah kredit konstruksi dan 14,22 persen atau Rp 26,5 triliun adalah kredit real estat.

Konsumen semakin pandai memilih proyek-proyek properti yang akan dibelinya dengan menyeleksi pengembang yang sudah teruji lolos dari krisis. Mereka semakin pintar untuk memilah pengembang yang kredibel dan memilih proyek yang sesuai dengan kemampuan ekonominya.

Mereka membeli sesuai dengan kebutuhannya. Tidak banyak konsumen yang menebar uang di banyak proyek properti sebagai ajang spekulasi. Mereka juga lebih berhati-hati dalam memilih proyek properti, dengan melihat bagaimana track record pengembangnya.

Kenapa sektor properti Indonesia tidak terpengaruh? Kenapa bisnis properti nasional seakan- akan begitu tangguh? Sekali lagi, hal ini merupakan anomali yang sulit dijelaskan. Ya, benar-benar merupakan ketidaklaziman dalam dinamika bisnis properti nasional.

Soalnya, pada masa lalu, ketika krisis moneter menerjang kawasan Asia, yang dimulai dari Thailand, justru Indonesia merupakan negara yang paling parah terkena dampaknya dibandingkan dengan negara lain, seperti Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan. Dan, sektor properti Indonesia terperosok paling dalam ke kubangan krisis, di samping sektor keuangan dan perbankan.

Nah, dalam situasi krisis global yang terjadi belakangan ini, bisnis properti di Indonesia seakan- akan kebal dari penyakit ekonomi yang mengkhawatirkan banyak negara itu. Padahal, ketimbang negara lain, seperti Singapura, China, dan Uni Emirat Arab, bisnis properti Indonesia relatif masih tertutup bagi investor asing.

Tak pernah kehabisan

Para pengembang di Indonesia seperti tidak pernah kehabisan ”amunisi” untuk terus mengguyur pasar properti nasional dengan berbagai proyeknya. Buktinya, hanya dalam tempo dua tahun (2007-2009), tidak kurang dari 33.000 unit rumah susun sederhana milik (rusunami) diluncurkan para pengembang. Jika harga rusunami itu rata-rata Rp 175 juta per unit, nilai kapitalisasi dari proyek rusunami saja mencapai Rp 5,7 triliun.

Yang lebih fantastis, para pengembang juga terus merancang berbagai megaproyek properti lewat superblok. Pada masa mendatang, ekonomi Indonesia diperkirakan akan melaju rata-rata 7-9 persen per tahun, persis seperti sebelum terjadi krisis ekonomi. Indikasinya tampak jelas dari kinerja ekspor yang semakin mantap hingga menembus 100 miliar dollar AS tahun 2007.

Meski laju inflasi tahun 2008 akan cukup tinggi, yakni mencapai sekitar 12 persen, akibat kenaikan harga komoditas pangan internasional dan penyesuaian harga BBM di pasar domestik, pemerintah, Bank Indonesia, dan kalangan perbankan pada umumnya merasa sangat yakin bahwa laju inflasi akan kembali mereda pada tahun 2009, turun lagi ke level 6 persen-6,5 persen.

Nah, hal itulah yang membuat para pengembang sama sekali tak merasa ragu untuk terus meluncurkan proyek-proyek propertinya. Dengan demikian, bisnis properti yang terus bergairah sejak tahun 2002 akan menemukan momentum untuk mencapai booming pada tahun 2010-2011.

Fenomena seperti itu benar- benar merupakan sebuah anomali dalam sejarah bisnis properti Indonesia, bahkan dunia. Sebab, di mana pun juga tidak ada sebuah sektor ekonomi yang mampu terus-menerus selama satu dekade. Selalu ada proses alamiah yang membuat suatu usaha berkembang, lalu jeda sesaat atau melemah, untuk kemudian tumbuh lagi.

Salah satu faktor yang membuat para pengembang se- makin bersemangat membangun proyek-proyek propertinya adalah keyakinan bahwa pemerintah baru pada tahun 2009 akan membuat kebijakan terobosan. Salah satunya adalah membuka akses yang lebih luas bagi investor asing untuk masuk ke bisnis properti nasional.

Tak heran jika para pengembang terus meluncurkan proyek-proyek properti terpadu yang sangat prestisius, seperti StMoritz dengan nilai investasi Rp 11 triliun, Kemang Village (Rp 12 triliun), Ciputra Mall (Rp 14 triliun), Kuningan City (Rp 6 triliun), Kota Casablanca (Rp 7 triliun), Gandaria City (Rp 6,5 triliun), dan Tangerang City (Rp. 4,4 triliun).

Semua proyek properti itu seakan-akan merupakan antisipasi para pengembang menyambut hadirnya investor asing ke bisnis properti nasional pada kurun waktu 2009 dan seterusnya. Nah, jika semua skenario yang dipaparkan di atas terjadi, booming properti pada tahun 2010-2011 bukan hal yang mustahil terjadi.

Karena sikapnya yang sangat ”fanatik” terhadap properti sebagai instrumen investasi, para pengembang dari mancanegara pun semakin banyak yang menawarkan proyek-proyek propertinya ke Indonesia, seperti yang dilakukan para pengembang dari Singapura, Malaysia, Kanada, dan Australia. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, pengembang dari AS juga gencar menawarkan proyek-proyek properti di New York dan California.

Disarikan dari Panangian Simanungkalit

Tidak ada komentar: